## Senyum Terakhir di Meja: Sebuah Kisah tentang Penyesalan
Meja kayu itu masih berdiri kokoh di sudut ruangan, seakan tak terjamah waktu. Warnanya yang dulu cokelat tua kini telah memudar, menyisakan guratan-guratan halus yang menceritakan usianya. Di atasnya, secangkir kopi hitam pekat masih mengepulkan uap tipis, aromanya menguar lembut, membangkitkan kenangan yang terkubur dalam labirin ingatan.
Di meja itulah, dulu, tawa kami mewarnai setiap jengkal ruang. Suara Ayah yang berat berpadu dengan riuh canda adik-adikku, menciptakan simfoni kebahagiaan yang tak lekang oleh waktu. Aku, yang saat itu masih remaja, seringkali hanya menjadi pendengar setia, larut dalam kehangatan yang terpancar dari setiap senyum dan tatapan mata mereka.
Ayah, dengan kesabarannya yang tak terhingga, selalu menyempatkan diri untuk berkumpul di meja kayu itu setiap sore hari. Secangkir kopi hitam pekat menjadi teman setianya, menemani obrolan ringan yang diselingi canda tawa. Di meja itu, beliau bagaikan nahkoda yang arif, membimbing kami mengarungi samudra kehidupan dengan penuh kasih sayang.
Namun, waktu tak pernah berhenti berputar. Kesibukan demi kesibukan mulai merenggut kebersamaan kami. Aku, yang terlena mengejar mimpi di kota orang, mulai jarang pulang. Kunjungan-kunjunganku menjadi sebatas seremonial belaka, sekadar melepas rindu yang sesungguhnya tak pernah benar-benar terobati.
Hingga pada suatu sore yang sendu, kabar duka itu datang menghantam jiwa. Ayah, nahkoda kami, telah berpulang untuk selamanya. Kepergiannya yang tiba-tiba menyisakan lubang menganga di hati, luka yang tak akan pernah benar-benar sembuh.
Penyesalan menghantamku bagai badai. Seharusnya aku lebih sering pulang, meluangkan lebih banyak waktu untuknya. Seharusnya aku lebih peka, menyadari bahwa di balik senyum hangatnya, tersimpan rasa rindu yang tak terucapkan.
Kini, hanya tersisa sepi yang mengiringi setiap detik yang berlalu. Meja kayu itu, saksi bisu kebahagiaan masa lalu, kini hanya menyisakan kenangan yang perih untuk diingat. Secangkir kopi hitam pekat yang dulu menjadi teman setia Ayah, kini hanya mampu menghadirkan bayangan samar sosoknya yang penuh kehangatan.
Senyum terakhirnya di meja itu, sebelum aku kembali ke perantauan, kini menjadi hantu yang terus menghantuiku. Sebuah pengingat pahit tentang kesempatan yang terbuang sia-sia, tentang waktu yang tak dapat diputar kembali.
Di tengah kesunyian malam, aku terduduk di hadapan meja kayu itu. Aroma kopi yang samar tercium, seolah memanggilku untuk kembali menyelami kenangan yang tersimpan di setiap seratnya. Air mata menetes perlahan, membasahi secarik kertas di tanganku.
“Ayah, maafkan aku…”
Hanya kata-kata itulah yang mampu kutuliskan, sebuah penyesalan abadi yang akan terus menghantui hingga akhir hayatku.