## Senyum Terakhir di Meja Roulette: Sebuah Kisah tentang Penyesalan
Ruangan itu berdenyut dengan energi yang aneh, perpaduan antara harapan yang menggebu-gebu dan keputusasaan yang pekat. Bau parfum mahal bercampur dengan asap rokok menggantung berat di udara, menciptakan kabut menyesatkan yang menjanjikan kemewahan semu. Di tengah hiruk-pikuk itu, di bawah sorot lampu yang tak kenal ampun, seorang pria duduk tegak di meja roulette. Matanya, yang dulunya memancarkan semangat hidup, kini redup dan kosong, tertuju pada roda yang berputar tanpa henti.
Namanya Thomas. Atau setidaknya, itulah nama yang tersisa di benaknya, terukir lebih dalam daripada kenangan akan keluarganya, cintanya, atau kehidupan yang pernah ia genggam erat. Kini, satu-satunya kenyataan yang ia kenal adalah putaran roda roulette, tarikan napas saat bola menggelinding, dan janji hampa akan satu kali putaran keberuntungan yang akan mengubah segalanya.
Di tangannya, ia memegang satu chip terakhir, satu-satunya yang tersisa dari gunung kekayaan yang pernah ia bangun dengan susah payah. Kehidupannya yang dulu penuh tawa, cinta, dan mimpi kini telah direduksi menjadi kepingan plastik kecil ini. Sebuah ironi yang pahit, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah menari dengan iblis judi dan kalah telak.
Ia ingat dengan jelas saat pertama kali menginjakkan kaki di ruangan seperti ini. Rasa penasaran yang polos, dibumbui sedikit kesombongan. Ia hanya ingin mencoba peruntungannya, merasakan sedikit sensasi. Kemenangan awal, seperti bisikan setan, menggodanya untuk melangkah lebih jauh, menjanjikan kekayaan dan kebahagiaan instan.
Tapi Thomas, seperti banyak orang sebelum dan sesudahnya, lupa bahwa keberuntungan adalah kekasih yang tak setia. Ia datang dan pergi sesuka hati, meninggalkan jejak kehancuran bagi mereka yang terlalu bodoh untuk menyadari sifat aslinya.
Malam itu, di bawah sorotan lampu yang dingin dan tak berperasaan, Thomas menyadari bahwa ia telah mencapai ujung perjalanannya. Chip terakhir di tangannya terasa berat, bagai menanggung beban semua kesalahannya, semua keputusannya yang buruk, semua rasa sakit yang telah ia timbulkan pada orang-orang yang mencintainya.
Dengan tangan gemetar, ia meletakkan chip itu pada angka 13, angka yang selalu ia anggap sebagai angka keberuntungannya. Sebuah senyuman tipis, hampir tak terlihat, terukir di bibirnya. Bukan senyuman harapan, tapi senyuman penerimaan. Penerimaan atas kebodohannya, atas keserakahannya, atas kehancurannya sendiri.
Roda berputar. Bola menggelinding. Waktu seakan berhenti. Kemudian, dengan dentuman takdir, bola itu jatuh ke dalam slot. Angka 22.
Senyuman Thomas, yang hanya sebentar menghiasi wajahnya, menghilang, digantikan oleh ekspresi kosong yang tak terbaca. Ia tidak merasakan apa-apa. Tidak ada rasa sakit, tidak ada penyesalan, hanya kekosongan yang luas dan dingin. Ia telah mencapai akhir permainannya, dan yang tersisa hanyalah gaung bisikan masa lalu dan bayangan masa depan yang tak pernah terwujud.
Di tengah keramaian yang tak peduli, di bawah lampu yang masih berkedip tanpa ampun, Thomas bangkit dari kursinya dan berjalan pergi, meninggalkan di belakangnya kepingan terakhir dari dirinya yang dulu.