Antara Keputusan dan Keberuntungan: Misteri yang Tak Terpecahkan

## Senyum Terakhir di Kasino: Sebuah Kisah tentang Penyesalan

Udara pengap di dalam kasino itu seperti sarat akan keputusasaan yang terbungkus rapi dalam kilauan lampu neon dan dentuman musik elektronik. Bau parfum murahan bercampur asap rokok menggantung pekat, membius indera dan logika. Di antara kerumunan manusia yang rakus akan janji keberuntungan semu, duduklah seorang pria paruh baya dengan tatapan kosong.

Namanya Bahri, dan senyum terakhirnya terukir di tempat ini, lima tahun silam. Sebuah senyum kemenangan yang ternyata adalah awal dari kejatuhannya. Kala itu, dewi fortuna seperti menari di atas kepalanya, menghujaninya dengan kepingan keberuntungan dalam bentuk tumpukan chip poker. Ia pulang dengan hati riang, kantong penuh, dan mimpi yang tiba-tiba terasa begitu dekat.

Tapi Bahri lupa, atau mungkin sengaja mengabaikan, bahwa dewi fortuna itu seperti kupu-kupu; cantik, menggoda, namun sulit dipegang. Ia kembali ke kasino, lagi dan lagi, terlena oleh bisikan manis kemenangan masa lalu. Keberuntungannya perlahan memudar, berubah menjadi kekalahan demi kekalahan yang menggerogoti hartanya, kewarasannya, dan keluarganya.

Rumah yang dulu dipenuhi tawa kini sunyi mencekam. Istrinya, Fatimah, pergi bersama anak gadis mereka setelah lelah disuguhi janji-janji kosong dan ledakan amarah Bahri. Bahri, yang dulunya seorang kepala keluarga penyayang, kini hanyalah bayangan manusia yang dihantui penyesalan.

Ia kembali ke meja poker, bukan untuk mencari kemenangan, tapi pelarian. Setiap kartu yang dibagikan, setiap taruhan yang ia pasang, adalah usaha sia-sia untuk memutar kembali waktu, untuk menghapus senyum terakhirnya yang naif.

Di meja poker itu, di antara kepulan asap rokok yang samar, terbersit bayangan Fatimah. Senyumnya yang tulus, belaian tangannya yang lembut, dan suara anak gadisnya yang riang memanggil “Ayah…” – semua kenangan itu terasa begitu nyata namun begitu jauh, seperti kepingan mimpi yang terlupakan.

Penyesalan, seperti duri-duri tak kasat mata, menusuk-nusuk batinnya. Seandainya ia bisa memutar waktu, seandainya ia lebih bijak, seandainya ia lebih menghargai keluarganya daripada bujukan semu dewi fortuna.

Tangannya gemetar meraih segelas wiski murahan, cairan pekat itu membakar kerongkongannya, namun tak mampu memadamkan api penyesalan yang berkobar di dalam dirinya. Di kasino yang bising dan penuh kepalsuan itu, Bahri terduduk sendirian, tenggelam dalam lautan penyesalan yang tak bertepi.

Senyum terakhirnya di kasino, yang dulu terasa seperti puncak kebahagiaan, kini menjadi monumen peringatan, pengingat abadi akan harga mahal yang harus ia bayar karena keserakahan dan kebodohannya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *